Senin, 22 April 2013

Jejak ke Puncak


Panasnya siang tak menyurutkan niat Paijo untuk terus memukul gendangnya dan menunggu kerelaan hati pengemudi di jalanan. Apa daya inilah yang bisa dia lakukan agar tetap hidup dan mewujudkan cita-citanya. Paijo adalah seorang pengamen jalanan dia tak sendirian ia bersama ibu dan teman-temannya menjadi penghibur para pengemudi yang terjebak dalam kemacetan. Himpitan ekonomi dan keterbatasan kemampuan menjadi alasan mereka harus menjadi pengamen. Itulah yang menjadi motivasi bagi Paijo untuk giat belajar dan merubah keadaan dia agar tidak terus hidup di bawah kemiskinan.
Paijo termasuk anak yang rajin walaupun harus mengamen ketika pulang sekolah, ia tak pernah melupakan tugas-tugas sekolahnya. Ia sering mendapat peringkat pertama di kelasnya. Di waktu sela-sela mengamen ia sering membaca buku.
Di lain sisi ibu Paijo yang hanya seorang diri  membesarkan Paijo mulai kecil sangat bangga memiliki anak seperti Paijo. Ibu Paijo sebenarnya tak tega melihat anaknya harus bekerja, namun ia tak sanggup menahan kemauan Paijo untuk membantunya mencari uang. Sebenarnya tujuan Paijo dan ibunya pergi ke ibukota adalah untuk mencari ayah Paijo yang telah merantau ke ibukota sejak lama dan tak pernah pulang. Entah di mana sekarang keberadaannya.

Ibu Paijo yang tidak memiliki keterampilan hanya bisa menjadi penari jalananan yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Paijo dan ibunya hanya tinggal di kamar kost yang mereka gunakan untuk kegiatan mereka sehari-hari. Kehidupan keras di ibukota membuat mereka tidak bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.
Ibu Paijo bekerja tanpa mengenal lelah dan pada suatu ketika saat menari di jalanan kepalanya terasa sakit tetapi ia menahan rasa sakit itu dan meneruskan menari. Sakit yang ia derita ia sembunyikan, mungkin jika Paijo tahu ia pasti khawatir dengan keadaannya.
Semangat belajar Paijo harus dihambat dengan tunggakan SPP yang belum ia bayar. Hal itu menjadi tekanan yang berat tak lama kemudian ia dipanggil oleh petugas TU sekolah. “Apakah kamu yang bernama Paijo?” Tanya petugas TU. “Iya, bu.” Jawab Paijo sambil menundukkan kepalanya. “Tunggakan SPPmu sudah lima bulan jika tidak dibayar hingga minggu depan kamu harus keluar dar sekolah ini.” Kata petugas TU. “Baiklah saya akan usahakan itu.” Jawab Paijo. Paijo bingung mencari cara untuk mencari uang untuk membayar SPPnya yang tidak sedikit jumlahnya bagi dirinya.
Kemudian ada salah satu guru yang menghampiri Paijo. “Oh ternyata kamu di sini, Paijo.” Kata pak guru. “ Ada apa pak?” Tanya Paijo. “Saya tahu tentang SPPmu yang belum kamu bayar, tetapi sekarang jangan kau pikirkan lagi kamu mendapat beasiswa siswa berprestasi, selama sekolah disini kamu tidak dipungut biaya.” Kata pak guru. “Benarkah, pak?” Tanya Paijo. Sejak saat itu tidak ada hambatan Paijo dalam bersekolah.
Perjalananya tidaklah mudah banyak dari teman-temannya sering menghina dia. Anak kampungan itulah yang sering ia dengar dari teman-temannya. Mereka menganggap Paijo adalah anak desa yang tidak bisa apa-apa. Mereka juga sering menjahili Paijo, namun Paijo tidak membalas mereka malah Paijo sering membantu mereka.
Kerja keras Paijo dibayar setera ia sekarang menjadi seorang yang sukses, gelar professor ia dapatkan. Kehidupannya mulai berubah keadaannya tidak seperti yang dulu. Sekarang ia memiliki pekerjaan tetap, rumah dan apapun yang ia inginkan sudah dimiliknya namun sekali lagi cobaan tidak pernah berakhir. Ibunya sakit parah, orang yang paling ia sayangi dalam keadaan kritis. Tak tahu lagi apa yang ia pikirkan, berbagai cara sudah ia tempuh.
Dokter menyarankan agar Paijo mendonorkan hatinya untuk ibu tercintanya. Perjuangan ibunya selama ini tidak akan pernah terbayar olehnya. Itulah yang membuat Paijo sampai pada saat ini. Lambat laun keadaan ibunya mulai berangsur membaik.
Paijo mengajak ibunya pergi ke suatu tempat yang tak asing bagi mereka yaitu tempat mereka dulu mengamen yang membuat mereka berdua teringat perjuangan mereka dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar